Stabilitas yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan

Di tahun 2007 ini, Pakistan bisa dibilang salah satu negara yang mengalami goncangan politik dan keamanan yang luar biasa.Sejak awal tahun, negeri ini didera sejumlah persoalan keamanan. Tak kurang sebanyak 40 kali serangan bom bunuh diri terjadi. Lebih dari 770 orang tewas, termasuk saat serangan militer ke Masjid Merah. Juga, lebih dari 100 orang tewas saat militer menyerbu kekuatan pro-Taliban.

Serangan bom bunuh diri teranyar terjadi menjelang masa kampanye pemilu. Jumat 21 Desember lalu, serangan bom bunuh diri dengan target mantan Menteri Luar Negeri Aftab Khan Sherpao menewaskan 56 orang. Pada Oktober lalu, saat mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto kembali dari pengasingan, 139 orang tewas.

Presiden Pervez Musharraf yang disponsori Amerika Serikat (AS) menuding kelompok militan Islam yang dibekingi Al Qaeda dan Taliban bertanggung jawab atas serangkaian kekerasan itu.

Serangkaian kekerasan ini jualah yang membuat Musharraf mengeluarkan beberapa kebijakan yang kontroversial pada 3 November lalu, yaitu memberlakukan keadaan darurat, membekukan konstitusi, memberedel media massa, dan memecat ketua mahkamah agung (MA) serta sejumlah hakim yang beroposisi.

Demiliterisasi

Pertarungan antara kelompok sipil dan kekuatan militer dalam perebutan kekuasaan sudah biasa terjadi di Pakistan. Pakistan merdeka pada 15 Agustus 1947, dan resmi menjadi negara republik pada 23 Maret 1956.

Militer Pakistan telah memainkan peran yang sangat berpengaruh dalam sejarah politik negeri itu. Setelah Mirza, militer berkuasa pada 1958-1971, 1977-1988, dan sejak 1999 hingga saat ini. Sepanjang itu pula, stabilitas politik belum tercipta secara mantap dan kokoh di sana. Negeri ini kerap diguncang huru-hara politik baik melalui kudeta maupun pergantian rezim penguasa yang diwarnai kekerasan berdarah.

Untuk mengakhiri kekuasaan militer ini, kelompok oposisi mendesak Musharraf mencopot seragam militernya. Benazir Bhutto ketika masih di pengasingan memperingatkan Musharraf bahwa pihaknya mungkin membentuk aliansi dengan oposisi dan mundur dari Parlemen jika Musharraf bersikeras mencalonkan diri kembali dan menolak melepas seragam militernya.

Akhirnya, tongkat komando yang digenggam Musharraf selama delapan tahun berpindah tangan ke Jenderal Ashfaq Pervez Kiani yang pernah menjabat sebagai kepala intelijen. Kesediaan melepas atribut militer ini dilakukan setelah dia mendapat kepastian diizinkan menjadi presiden untuk periode selanjutnya.

Langkah yang juga mendapat apresiasi adalah pencabutan status darurat yang telah diterapkannya selama enam pekan, pada 15 Desember lalu. Namun sayang, pencabutan ini tidak dibarengai dengan pengembalian konstitusi. Musharraf akan memulihkan konstitusi menjelang pemilu mendatang, setelah dilakukan amandemen untuk memastikan dirinya aman dari jeratan hukum.

Kini, warga Pakistan masih menanti apakah pemilu pada 8 Januari mendatang dapat membawa angina segar terwujudnya demokratisasi di Pakistan.

2 tanggapan untuk “Stabilitas yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan

Tinggalkan komentar